Kamis, 30 April 2009

Tahlilan N mE

Jam 10 tet,selesai gak rampung,rampung gak selesai pokoke kudu pulang. Tp eit tetap pamit sama yg empunya rumah.Weh....dapet tentengan,lumayan...... souvenirnya buah2an.Bagus jg nih ide si temen bawain jinjingan buat tamu2nya.Buah2an yg dikemas dalam keranjang kecil,unik n jelas2 bermanfaat,bergizi pula.Gak ketinggalan buku tahlilan dgn cover Gadis,nama anak temen yg 100 hr lalu meninggal krn DB.
Bicara tahlilan,acara itu sudah kukenal sejak SD kalo gak salah,waktu mbah buyut kakung saya meninggal. Dari eyang,budhe,pakdhe,mas,mbak,tak ketinggalan pasti barisan belakang mbok,yu n keluarganyapun dikerahkan.Seperti perhelatan besar. Rumah pendopo eyang yg biasanya sepi (krn cucu n cicit ngumpul kalo pas lebaran tok) mendadak ramai sejak H-7.Mendekati hari H,kondisi makin bikin kemrungsung.Waktu Yune (panggilan sayang ke pengasuhku) untukku terbagi 2 kubu.Tapi gak bisa protes aku, apalagi demo!Pokoknya segenap SDM baik yg msh trah ato bukan konsentrasi atas kelangsungan acara yg bernama tahlilan itu.
Hari H-nya jangan ditanya,aku yg msh imoetpun cuma bisa duduk diem pas acara berlangsung sambil dengerin orang2 yg berdoa ramai2,seperti ada nadanya.Ngantuk deh....
Buat aku sendiri,pengennya acara cepet selesai biar yune gak cuekin aku,saking repotnya dia.Aku gak habis pikir,eyang habis meninggal kok kita malah 'pesta' ya,emang pada seneng ya atas meninggalnya eyang (?).
Seiring bertambah gede n tua eh,dewasa, penilaianku thdp acara itu gak berubah banyak. Hanya ada tambahan 'ilmu' kalo itu berarti berdoa bersama untuk kebaikan almarhum/mah n kita yang masih hidup. N tambahan ilmu lg bahwa dengan acara itu bisa juga dianggap sebagai ajang silaturahmi seperti halnya facebook,bedanya ini kopi darat.Seperti halnya yg barusan tak datengin tadi. Sodara2 temen yg termasuk KB (keluarga besar) itu ngumpul semua bahkan temen,tetangga,relasi,koneksi eh salah ya...pokoknya siapa ajja yg terkait dengan si empunya rumah bertemmu dalam 1 atap. Jelas rame n meriah pasti. Eit,ada tapinya nih asal semua itu wajar n tidak berlebihan ayo aja,sejauh esensi untuk berdoa bersamanya tidakk ditingalkan.Setuja???

1 komentar:

  1. Ternyata Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan bahwa selamatan kenduri kematian setelah hari wafat, hari ketiga, ketujuh dll adalah : MAKRUH, RATAPAN TERLARANG, BID’AH TERCELA (BID’AH MADZMUMAH), OCEHAN ORANG-ORANG BODOH.
    Berikut apa yang tertulis pada keputusan itu :

    MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU)
    KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
    TENTANG
    KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH


    TANYA :
    Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?

    JAWAB :
    Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.


    KETERANGAN :
    Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:
    “MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: ”kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN ( YANG DILARANG ).”

    Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
    “Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan tentang yang dilakukan pada hari ketiga kematian dalam bentuk penyediaan makanan untuk para fakir dan yang lain, dan demikian halnya yang dilakukan pada hari ketujuh, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah.
    Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak? Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”
    Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’).
    Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi  terhadap seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.
    Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).

    SELESAI, KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926

     REFERENSI : Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), halaman 15-17), Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.

     CATATAN : Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa bacaan atau amalan yang pahalanya dikirimkan/dihadiahkan kepada mayit adalah tidak dapat sampai kepada si mayit. Lihat: Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim 1 : 90 dan Takmilatul Majmu’ Syarah Muhadzab 10:426, Fatawa al-Kubro (al-Haitsami) 2:9, Hamisy al-Umm (Imam Muzani) 7:269, al-Jamal (Imam al-Khozin) 4:236, Tafsir Jalalain 2:19 Tafsir Ibnu Katsir ttg QS. An-Najm : 39, dll.

    BalasHapus